SBY Gagal Hancurkan Skenario Jokowi
www.LigaEmas.net - Teori skenario Jokowi atas DKI Jakarta
yang dipahami sebagian publik adalah kiri-kanan, tetap ‘orang istana’.
Artinya Jokowi mempertemukan jagoannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
dengan mantan tim suksesnya Anies Baswedan. Dengan demikian siapapun
pemenangnya, tetap ‘orang istana’.
Pada pencoblosan 15 Februari 2017, Rabu
mendatang, peluang Ahok menang satu putaran terbuka lebar. Namun
kalkulasi itu berada pada level 45:55. Artinya peluang Ahok menang satu
putaran besar namun berat. Jika benar Ahok menang satu putaran benar
terjadi, maka itu adalah kejutan dari silent majority atau undecided voters.
Kalkulasi real di lapangan adalah Ahok
masuk dalam putaran kedua. Lalu siapa yang akan mendampingi Ahok? Hampir
bisa dipastikan Anies Baswedan. Mayoritas hasil survei (termasuk Kompas
yang saya percayai) menjelang pencoblosan, menempatkan Anies nomor dua.
Jika Ahok dan Anies yang berlaga pada putaran kedua berarti skenario
Jokowi 100% terealisasi. Namun kebenaran skenario ini akan teruji pasca
Pilkada.
Pertanyaan tersisa adalah benarkah Jokowi
juga menginginkan Anies sebagai alternatif gubernur Jakarta jika Ahok
gagal? Publik masih ingat peran yang dimainkan Anies selama proses
pemilihan Presiden 2014 lalu.
Sebagai juru bicara kubu-Jokowi-JK, Anies
tampil habis-habisan dalam memoles citra Jokowi sekaligus menyerang
lawan Jokowi. Sebagai balasannya, Aniespun diangkat menjadi Menteri
Pendidikan. Namun pada reshuffle kabinet Jilid II, tiba-tiba Anies
dicopot dari jabatannya tanpa alasan yang jelas dari Jokowi.
Publik menjadi bertanya-tanya, ketika
reaksi Anies pasca pencopotannya adem ayem saja. Ia tidak banyak
berkomentar dan berbalik menyerang Jokowi. Pun ketika Djarot
menyindirnya sebagai sosok menteri yang dipecat, reaksi Anies nyaris
nihil. Publikpun curiga bahwa Jokowi tengah mempersiapkan Anies sebagai
alternatif jika Ahok gagal dicalonkan atau gagal menang. Sekali lagi ini
hanya dugaan skenario yang diperankan oleh the invicible hand.
Jelas bagi Jakowi sebagai RI-1, Jakarta
terlalu strategis untuk diabaikan atau dilepas begitu saja. Nah dengan
cara ‘mengorbankan Anies’, Jokowi sukses memainkan silent operation
lewat strategi ‘aniaya’ yang kemudian berhasil membuat Anies maju
sebagai calon gubernur dari Gerinda. Ketika Ahok dan Anies sah
dicalonkan (Agus belakangan diumumkan), Jokowi tersenyum lebar di
istana.
Publik kemudian yakin, bahwa munculnya
Agus Harimurti sebagai calon gubernur, adalah strategi hebat SBY yang
ingin menghancurkan skenario Jokowi itu. Pengingkaran SBY atas ucapannya
sendiri bahwa para taruna dan perwira TNI/Polri tidak tepat
bercita-cita menjadi kepala daerah menjadi bumerang. SBY justru memupus
karir cemerlang Agus hanya demi memenuhi ambisinya dan semata-mata
merusak skenario Jokowi.
Publik akhirnya memahami keputusan SBY
itu. Ketika partai Demokrat lagi sekarat dan sulit sekali bangun, maka
jalan satu-satunya adalah membersihkan dinastinya dan partai Demokrat
dari aroma skandal korupsi.
Lewat pengorbitan Agus yang dipandang bersih
dan berpeluang besar menjadi gubernur, maka peluang untuk membersihkan
dosa-dosa Demokrat dan SBY sendiri terbuka lebar. SBY pun yakin bahwa
puteranya Agus menjadi kuda hitam yang mampu menjegal Ahok ataupun
Anies.
Awalnya, publik banyak berharap pada Agus
sebagai sosok alternatif yang bisa menyaingi Ahok yang terkenal galak.
Harapan publik dan terutama SBY sendiri menjadi semakin menggelora
ketika pada awalnya elektabilitas Agus terus mengalahkan petahana yang
sedang terpuruk akibat tuduhan penistaan agama. SBY pun tersenyum lebar
sementara Jokowi di istana, terus memikirkan strategi lain untuk melawan
strategi SBY.
Tetapi apa yang terjadi kemudian di luar skenario SBY.
Sama seperti Jokowi yang sama sekali tidak
menduga bahwa Ahok nyaris terpuruk akibat isu penistaan agama, SBY juga
lupa bahwa Agus akan terpuruk lewat satu hal, yakni debat dan program.
Masyarakat Jakarta yang rata-rata level pendidikannya sudah tinggi
ternyata menjadikan debat dan program menjadi barometer untuk menilai
seorang calon gubernur layak menjadi pemimpin DKI-1 atau tidak. Dan
ternyata lewat debat, Agus menjadi bulan-bulanan cibiran publik. Kini
elektabilitas Agus pasca tiga kali debat terjun bebas.
Berbeda dengan SBY yang jago bertutur kata
dengan ejaan bahasa Indonesia yang benar, Agus tidak demikian. Agus
yang gaya bicaranya mengambang dan menghapal materi debat dilihat oleh
publik DKI sebagai sosok yang tidak mampu memimpin Jakarta. Ide konyol
Agus tentang kota terapung, membangun tanpa menggusur, namun ide berubah
menjadi menggeser sedikit, menghidupkan BLT dan seterusnya, semakin
meyakinkan publik bahwa Agus adalah fotokopinya SBY.
Publik mendapat kesan bahwa Agus memiliki
kecenderungan seperti SBY sebagai sosok yang tidak tegas, peragu dan tak
nyambung. Selama sepuluh tahun memerintah, SBY membiarkan negeri ini
auto-pilot. Publik kemudian memahami bahwa Agus tidak akan bisa menjadi
gubernur berhasil. Sosok Agus di mata publik tidak lebih dari sosok
yang akan menghasilkan kebingungan dan kegalauan birokrasi.
Ternyata taktik SBY untuk menghancurkan
skenario Jokowi itu gagal total. Agus ternyata tidak bisa diandalkan
dalam berdebat pun dalam membuat program. Jika seandainya SBY mendukung
Yusril Ihzra Mahendra menjadi calon gubernur melawan Ahok, maka bisa
dipastikan ceritanya lain sama sekali. Yusril yang jago debat, paham
hukum dan lawan yang sepadan dengan Ahok akan benar-benar menjadi
perusak skenario Jokowi. Akan tetapi SBY mengabaikan total Yusril yang
sudah bersusah payah melamar ke sana-kemari.
Kini, menjelang detik-detik pencoblosan,
SBY sudah bisa merasa bahwa ia gagal merusak skenario Jokowi. Tidak ada
gunanya lagi bermelodrama dan bermelankolis untuk menarik simpati
publik. SBY kini tinggal menunggu kenyataan bahwa yang maju pada putaran
kedua adalah Ahok dan Anies. Jika demikian SBY gagal menghancurkan
skenario Jokowi. Begitulah kura-kura.
0 komentar:
Posting Komentar