Kini Yusril Yang Blak Blakan Bongkar Kebusukan Era SBY Soal Kasus Antasari Azhar dan Susno Duadji
www.LigaEmas.net - Yusril
Ihza Mahendra menyebut kondisi negara di bawah pemerintahan Susilo
Bambang Boediono (SBY)-Boediono makin tragis. Negara seperti tidak hadir
ketika terjadi ketidakadilan di mana-mana sehingga terjadi berbagai
kekerasan yang dilakukan masyarakat.
Ketidakadilan
ini berawal dari amburadulnya Pemilu 2009 yang dimenangi SBY-Boediono.
Yusril lantas mengungkap kasus IT KPU yang diusut KPK saat dipimpim
Antasari Azhar. Namun ujungnya, Antasari malah dijebloskan ke penjara
dengan tuduhan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Yusril juga
mengungkap KPK menjadi mandul ketika Bibit Samad Rianto-Chandra Hamzah
dijadikan tersangka saat sedang mengusut kasus bailout Bank Century.
Komjen Susno Duadji juga senasib. Berikut tulisan yang dikirim mantan
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra kepada
Tribunnews.com.
Kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, kita akan menemukan kata-kata yang penuh makna, yakni negara yang kita bangun ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, kita membentuk pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan atas nama negara.
Kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, kita akan menemukan kata-kata yang penuh makna, yakni negara yang kita bangun ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, kita membentuk pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan atas nama negara.
Kini,
Pemerintahan SBY-Boediono baru menjalankan kekuasaan pemerintahan
negara melalui Pemilu yang buruk di tahun 2009, setahun saja, sejak
dilantik 20 Oktober 2009. Sejak awal, Pemilu yang buruk dengan
manipulasi daftar pemilih, IT KPU yang amburadul dan dugaan penggunaan
dana bailout Bank Century untuk membiayai kampanye Pilpres SBY Boediono,
sejak awal telah menyebabkan Pemerintah baru ini mengalami krisis
kewibawaan.
Memang,
apa yang dikemukakan ini baru bersifat dugaan. Namun sikap defensif
pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik pendukungnya terhadap semua
permasalahan diatas, secara politik justru semakin memreteli kewiwabaan
Pemerintah.
Soal
manipulasi data pemilih misalnya pernah menjadi angket di DPR yang
lama. Namun DPR baru hasil Pemilu 2009 tidak meneruskan penyelidikannya,
padahal menurut UU Angket, DPR baru berkewajiban meneruskan angket itu.
Negosiasi
politik antar partai dalam penyusunan KIB II, nampaknya telah
menenggelamkan kewajiban DPR baru untuk meneruskan hak angket itu.
Penyelidikan terhadap amburadulnya IT KPU yang diduga kuat memainkan
peranan besar dalam manipulasi Pemilu dan Pilpres, telah menelan korban
dengan dijebloskannya Antasari Azhar ke dalam penjara dengan tuduhan
yang mencengangkan, yang hingga kini tetap misteri.
Antasari
tahu seluk beluk IT KPU dengan yang dibangun dengan biaya besar,
termasuk tahu siapa rekanan yang memenangkan pengadaan peralatan IT itu.
Dia baru saja berniat menyelidiki, belum apa-apa, tapi nasibnya keburu
mengenaskan. Akhirnya rencana menyelidiki IT KPU kandas bersamaan dengan
dijebloskannya Antasari ke dalam tahanan.
Bibit
Samad Riyanto dan Chandra Hamzah lain lagi ceritanya. Niat mereka untuk
menelusuri bailout Century menjadi kandas dengan isu yang sengaja
ditimpakan kepada mereka, penyuapan. Sampai sekarang status Bibit dan
Chandra masih tersangka. Surat Penghentian Penyidikan terhadap mereka
telah ditolak pengadilan. Kini kabarnya sedang diuapayakan Kasasi ke
Mahkamah Agung. KPK menjadi lumpuh dengan kasus yang menimpa tiga
pimpinannya.
Sementara
Susno Duadji yang mulai buka mulut hal-hal terkait dengan Century,
dijebloskan ke dalam tahanan dengan tuduhan korupsi ketika menjadi
Kapolda Jawa Barat.
Sejak
itu, tiga institusi penegak hukum, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan seolah
menjadi berhadap-hadapan satu sama lain. Padahal, Presiden berkewajiban
menjaga harmonisasi antara lembaga penegak hukum.
Konflik
terbuka tiga lembaga ini akan berakibat merosotnya kewibaan aparatur
penegak hukum. Kalau kewibawaan aparatur penegak hukum rusak, maka
krisis kewibawaan akan makin melebar.
Rakyat
tak percaya penegakan hukum dilakukan dengan niat yang tulus demi
tegaknya hukum. Penegakan hukum hanyalah alat permainan untuk menutupi
dan membela kepentingan. Negara akhirnya akan terjerumus kepada krisis
kewibawaan yang kian dalam.
Dalam
suasana krisis seperti itu, pemerintah masih berupaya untuk membangun
citra memberantas korupsi. Namun upaya ini tak berhasil memulihkan citra
itu, kendatipun bagi SBY, citra adalah Panglima!
Sejumlah
kasus lama dibongkar-bongkar seperti kasus penyuapan sejumlah anggota
DPR dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Guberbur BI.
Kasus Sisminbakum diangkat kembali, walau sejak awal awam pun tahu ada
rekayasa dibalik semua itu.
Namun,
kalau menyinggung bailout Century, segala upaya dilakukan agar mega
skandal ini tidak terkuak, karena akan menohok substansi legalitas
Pemilu 2009 dengan komposisi anggota DPR seperti sekarang, dan Pilpres
2009 yang dimenangkan SBY-Boediono.
IT
KPU kini sudah hilang dari ingatan publik. Padahal, kalau ini terkuat,
akan ketahuan juga bagaimana sesungguhnya rekayasa Pemilu 2009
dilakukan.
Apa
yang dikemukakan di atas hanya dipahami oleh masyarakat kelas menengah
dan kelas atas. Masyarakat kelas bawah, walaupun mendengar berita,
mungkin kurang mampu mencerna dan kurang menaruh perhatian tentang
hal-hal yang tidak secara langsung mengenai kehidupan mereka.
Namun
ketidakadilan tetap mereka rasakan, ketika pemerintah yang tengah
mengalami krisis kewibawaan sibuk membela dan mempertahankan diri dengan
membangun citra diri yang bagus dan aduhai, telah lalai mengantisipasi
dan menyelesaikan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik di kalangan
masyarakat kelas bawah.
Pemerintah
SBY tetap saja tak kunjung mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
terus terpinggirkan dalam kemiskinan yang makin dalam. Lapangan kerja
dan lapangan berusaha begitu sulit dalam setahun terakhir ini, yang
semakin mendorong meningkatnya kejahatan.
Rasa
aman rakyat hilang, seiring dengan merosotnya kewibawaan Pemerintah.
Konflik antar kelompok dalam masyarakat terjadi di mana-mana dengan
aneka latar belakang isyu, etnik, agama, premanisme dan terorisme.
Rakyat
yang jengkel mulai menyerbu kantor polisi yang menjadi simbol negara
dalam melindungi bangsanya. Namun apa yang terjadi, polisi justru
melipatgandakan kewaspadaan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman
teroris dan penjahat. Kalau aparat keamanan sibuk melindungi diri
sendiri, bagaimana mungkin akan mampu melindungi rakyat?
Ketika
ketidakadilan makin meluas, negara seperti tidak hadir. Padahal negara
berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Ketika wilayah negara diterobos oleh petugas negara lain, negara juga
tidak menunjukkan ketegasan sikap.
Negara
seakan tak hadir melindungi tumpah darah Indonesia dan membiarkan harga
dirinya terinjak-injak. Sungguh tragis nasib bangsa dan negara yang
dipimpin Presiden SBY-Boediono ini.
0 komentar:
Posting Komentar