Hanya Tuhan yang Pantas Memberi Gelar ‘Kafir’ pada Manusia
www.LigaEmas.net - Tulisannya ini masih ada hubungan dengan tulisan saya yang kemarin, lihat di sini. Tapi kalau anda males baca tulisan sebelumnya, no problem, nggak penting kok. Langsung yang ini saja…
‘Kafir’ adalah kata yang populer akhir-akhir ini. Begitu entengnya kata
itu terucap dari cangkem yang mengaku muslim, bahkan ngeklaim sebagai
pembela Islam. Siapa pun yang tidak sejalan ideologi atau dengan pilihan
Cagubnya akan diteriaki “Kafir!”, “Munafik!”
Muslim itu menentramkan, kalau membuat sakit hati orang, berarti dia gagal jadi seorang muslim, muslim gagal.
Pembela Islam itu juga aneh, seolah-olah
Islam itu lemah sehingga butuh dibela. Kalau kamu menjadi muslim,
beragama Islam, maka Allah lah yang akan menyelamatkanmu, bukan kamu
yang menyelamatkan Islam.
Jadi, jangan ge er kamu membela Islam.
Seringnya kata ‘kafir’ dipakai untuk
sebutan bagi non muslim. Sekarang, banyak anak kecil yang memahami kafir
itu adalah non muslim. Parahnya ada meyakini kalau non muslim itu halal
darahnya (boleh dibunuh), karena dianggap kafir. Gemblung!
Kalau non muslim itu kafir, berarti semua umat manusia sebelum Nabi Muhammad adalah kafir dong??
Agama Islam sendiri lahir setelah Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul (umur 40 tahun). Jadi sebelum itu semua manusia tidak ada yang beragama Islam. Bahkan Orang tua Rasul pun otomatis tidak beragama Islam (Rasulullah yatim piatu sejak kecil). Terus apakah ortunya Rasulullah kafir? Tentu saja tidak.
Kemarin sempat ada yang tidak terima
karena saya menyebut ortunya Rasulullah tidak beragama Islam (muslim).
Lha wong jelas agama Islam itu ada setelah Nabi Muhammad diangkat jadi
Rasul kok. Sebelum itu belum ada agama Islam. Ya’opo se rek, logika
sederhana seperti itu saja nggak mampu.
Rasul sendiri diperintah untuk mengajak
pada kebaikan, tidak melaknat keburukan. Karena beliau menyadari bahwa
kejahatan memang dihakikatkan ada. Harus ada negatif sebagai penyeimbang
positif. Kalau kehidupan ini isinya orang berbuat baik saja, Tuhan
tidak bisa menjalankan sifat yang disandangnya : Maha Pengampun.
Maka, Tuhan menciptakan Iblis.
Iblis adalah mantan malaikat senior yang
paling cerdas. Dia ditugaskan jadi sparing partner-nya manusia dalam
melatih iman. Dengan bantuan iblis, Tuhan bisa tahu mana manusia yang
imannya joss gandoss dan mana yang ancur minah.
Karena memang cerdas, perkataan Iblis
sudah terbukti kebenarannya : manusia itu kerjaannya merusak bumi dan
bunuh membunuh antar manusia.
Hanya iblis yang mau dijadikan tokoh
antagonis. Jadi sebenarnya Iblis mahkluk yang ‘taqwa’. Dia rela jadi
ikon keburukan dan rela dikutuk-kutuk oleh manusia. Jadi penyeimbang
kehidupan, karena sebelum ada iblis kehidupan ini isinya cuman positif.
Maka harus ada positif.
Iblis bukan musuhnya Tuhan, tapi musuhnya
manusia. Iblis tidak punya pilihan, pilihannya hanya berbuat buruk, lucu
kalau Iblis tobat jadi alim.
Jadi sebenarnnya tidak bisa orang bilang,
“Si Anu tuntas tass memberantas pelacuran.” Woiiii. sampai kiamat pun
perlontean tidak akan pernah tuntasss. Lokalisasi memang sudah lenyap,
tapi PSK-nya terus bergerilya di bawah tanah atau lewat dunia maya.
Selalu ada cara dan jalan, nggak akan pernah tuntas. (pernah baca buku
“Jakarta Under Cover” nggak?”).
Perangi saja kemaskyiatan sekuat dan
semampumu, masalah tuntas atau tidak nggak masalah. Yang penting kita
sudah berusaha. Yang dinilai Tuhan itu usahanya, bukan hasilnya. Kalau
belum bisa memerangi kemaksyiatan, minimal tidak ikut menambah
kemungkaran. Dan yang terpenting jangan pernah bermain sebagai Tuhan,
menuding orang sebagai kafir.
Sekarang malah nggak cukup ‘Kafir’ saja,
tapi ada tambahan ‘PKI’nya, “PKI kafir!”. Dipikirnya kalau PKI itu pasti
kafir. Padahal komunis bukan berarti ateis. Ateis pun tidak berarti
kafir. Ateis tidak mengakui Tuhan, kafir mengakui Tuhan tapi diingkari.
Jangan kaget kalau ada petinggi PKI yang
jebolan pondok pesantren, bahkan anak Kyai. Karena komunisme (awalnya
Sosialisme) datang untuk melawan kapitalisme. Melawan kaum borjuis,
pemodal, pengusaha (kapitalis) yang menindas kaum buruh.
–Komunisme : paham yang menolak kepemilikan pribadi, semua milik bersama.—
Jadi sebenarnya Islam itu lebih dekat
dengan komunisme daripada kapitalisme. Maka no problem kalau komunisme
jadi ideologi pribadi. Yang dilarang itu partai politik yang berideologi
komunisme (PKI), bukan komunisme-nya. Tapi saya yakin PKI tidak akan
bangkit lagi, karena Pancasila sudah terbukti sakti!
Kalau ada yang mengatakan bahwa PKI bakal bangkit lagi itu ilusi, Paranoid! Ideologi ini sudah nggak laku lagi dijual.
Setiap gerakan yang menggulingkan
pemerintah pasti lah akan membunuh jika dihalangi. Begitu pula dengan
PKI, DI/TII atau yang lain. Jadi bukan karena komunismenya. Karena
sebenarnya semua ideologi itu damai.
Yang jelas PKI dan DI/TII itu
sama-sama bahayanya.
Kembali ke soal kafir.
Kata ‘kafir’ jadi sangat populer sejak
Pilpres kemarin, dimana Jokowi yang nyapres terpaksa menyerahkan
jabatannya pada walikota non muslim, FX Rudy di Solo dan gubernur Basuki
di Jakarta. Akibatnya kaum pengapling surga murka, menuduh Jokowi
anteknya kafir dan sempat iisukan keturunan PKI.
Kata ‘kafir’ bagi saya itu kasar banget,
dua puluh kali lipat lebih kasar dari ‘jancok’. Karena kafir itu
serendah-rendahnya manusia. Yang membuat ‘jancok’ lebih kasar itu karena
doktrin orang tua yang tertanam di pikran kita sejak kecil dan
kesepakatan moral yang ada di lingkungan kita.
Sekarang para pengapling surga dan
simpatisannya berusaha mati-matian untuk menjegal Basuki dengan segala
cara, Basuki harus ditendang! Hanya karena bukan seorang muslim.
Padahal jelas Pilkada itu memilih gubernur
bukan imam atau pemimpin agama. Ibarat sebuah bengkel motor,
Jakarta
butuh mekanik bukan tukang ngaji. Maka pilihlah yang mampu, cakap
membenahi bukan cuma cakap menghafal ayat dan dalil ayat suci.
Jadi, mari kita dewasakan diri. Hargai
perbedaan (pilihan). Jangan pernah melaknat orang lain dengan sebutan
kafir, munafik, dajjal, laknatulloh, jahannam, karena itu menyakiti hati
manusia. Biar Tuhan saja yang memberi gelar-gelar itu.
0 komentar:
Posting Komentar